Matahari sudah di penghujung petang.
Ku lepas hari dan sebuah kisah.
Ga deng, blog ini bukan berisi lirik lagu Monita Tahalea. Gue akan menceritakan tentang gue yang bulan ini baru mulai lagi jadi anak kantoran. Singkatnya, gue baru lulus bulan Desember tahun kemarin. Jadi freelancer sebulan, lanjut ngantor dari Januari sampe April 2019 (4 bulan), lanjut lagi freelance 4 bulan, dan mulai ngos-ngosan jadi freelancer karna bayaran yang tidak pasti kapan datangnya.
Sampe detik ini gue juga masih belum jelas apakah di blog ini gue lebih akan membandingkan antara pekerja kantoran vs freelancer, atau kehidupan gue di kantor baru ini.
----
Oke ke detail dulu, gue adalah lulusan jurusan Film. Sarjana seni. Januari kemarin, kantor pertama gue (gue belum pernah cerita detailnya seinget gue), gue masuk sebagai Multimedia Designer. Membuat apapun konten bergerak dan sebagainya. Kebetulan kantor kemarin itu Agensi, dan kliennya lebih banyak permintaan di ngurusin media sosial mereka. Seengganya, selama gue masuk, kliennya kebanyakan permintaan di situ. Mungkin gue kelewat kalo ada klien-klien lainnya. Klien kemarin kebanyakan F&B (Food & Beverage), karena emang pasar terbanyak untuk kami adalah F&B. Dan emang pasar F&B pun luas (?) yea muter-muter.
Sebenernya untuk dari lulusan Film ke konten Multimedia.., Ngga keluar-keluar banget lah. Masih suka 'syuting' ala-ala. Datengin store-store dari perusahaan yang kita pegang, ambil foto dan video setiap minggunya. Kalo bagian gambar bergerak dan selain desain grafis (still picture), gue yang pegang. Kalo bagian still picture dan layouting segala macem, temen gue yang pegang. Iya. Tim desain cuma dua orang. Tunggu kejutannya.
Alasan gue keluar dari kantor ini salah satunya adalah karena gue sayang dengan project-project freelance gue yang banyak gue tolak-tolakin. Dalam benak gue kala itu, sebagai seorang fresh graduate, membangun nama perorangan itu lumayan penting. Dan saat itu gue nolak lumayan banyak project freelance yang menurut gue harusnya bisa lumayan ngangkat nama perorangan gue.
Oke jadi, project freelance apa yang gue tolak-tolakin? Menjawabnya sekalian ceritain project-project apa aja yang gue terima untuk freelance. Simplenya, gue pegang project-project seperti.. apapun.
Iya, gue lumayan penasaran di banyak bidang. Well, ga literally apapun juga sih. Masih di bagian pekerjaan kreatif. Seperti: Videography, Motion Graphic, ilustrasi untuk Story Board, sampai pada pekerjaan utama gue selama ini: bikin Musik dan urusan Sound Design. Bukan produser musik -- yang musik emang. Lebih ke.. kebutuhan musik untuk film, animasi, iklan-iklan, ngisi Voice Over dan ngerekamin orang take Voice Over, sampe ambil-ambil Foley (semacam sound effect), dan mixing mastering. Untuk media yang lumayan apapun. Mixing dari yang untuk youtube, sampe kemarin Puji Tuhan dapet project untuk di iklankan di bioskop, yang harus mixing di Surround 5.1 (6 Channels) segala. Senangnya.
Masuk ke.. Bulan September kemarin. Lebih tepatnya sebenernya akhir Agustus kemarin. Gue ngelamar kerja lagi. Akhirnya. Setelah selama 4 bulan itu tidak terhindar dari pertanyaan Nyokap seperti "Kamu kapan ngelamar kerja lagi?". Ngga gue masukin ke hati emang pertanyaan itu, karena tidak lebih dari membuat stress doang. Pertanyaan yang menurut gue cuma perlu ditanyakan once in a lifetime rasanya. Mungkin gue yang terlalu sensitif yang merasa kalo ditanya terus-menerus malah berasa ga dipercaya. Padahal Puji Tuhan nya gue masih lumayan berpenghasilan di 4 bulan gue freelance kemarin. Ya, kecuali emang di pertengahan Agustus kemarin yang .. gue ada 3-4 project yang kurang jelas administrasinya. Yang bikin bayaran gue turun ga teratur dan harus minjem duit Bokap-Nyokap gue lagi. Hal ini sih yang jadi bahan pemikiran utama gue: Kalo freelance, bukan mencari kliennya doang yang dipikirkan. Proses pembayarannya yang harus dipikirkan. Ngga sedikit perusahaan-perusahaaan yang bayaran untuk para vendor (kaum kami) baru turun 1 bulan setelah Final Delivery (penyerahan hasil output Video atau apapun). Rata-rata project yang gue bikin ga pake DP. Ya pikir aja. Kerjaan ada, duit ga turun-turun. Terus ada juga project-project yang gue ambil yang; misalnya, bilang by the end of this (THAT) month harus udah kelar editan, tapi ternyata mundur merembet sampe 3 bulan kedepan dan ngga ada kejelasan pembayaran bahkan projectnya sendiri juga kurang jelas.
Gue lanjut perbandingan freelance dan kantorannya di akhir post deh ya.
Jadi akhir Agustus kemarin gue ngelamar kerja lagi. Tepat sehari setelah gue kumpul sama temen-temen kuliah gue, satu hari setelah gue ngomong ke mereka "Gue harus mulai ambil kerja kantoran lagi nih. Mulai ngos-ngosan gue..". Ya gitu. Malemnya gue ngomong gitu ke temen-temen gue, besok paginya salah satu temen gue nawarin kerjaan. Dia bukan salah satu dari temen-temen nongkrong gue malem itu.
"Arya.. Aku ada kerjaan nih.. Mau ngga?" *read
"Full time tapi..", lanjutnya.
Hati gue langsung berdebar-debar. Mungkin ini yang namanya cinta (?).
Gue langsung membalik hp gue yang terletak di kasur pagi itu. Panik.
5 menit gue tarik nafas, gue bales.
"Jadi apa, Kir?", tanya gue ke Kirtti, temen gue ini.
"Graphic designer.. Mereka lagi butuh yang bisa edit video juga tapi.."
Mati gue. Selama ini gue lumayan 'anti' dikasih kerjaan desain grafis. Kalo ditanya kenapa gue milih peminatan Film dan bukan Desain Grafis ya karena gue ga pede dengan skill desain gue. Emang sih pas SMA kalo gasalah 2 tahun ditunjuk untuk ngedesain Buku Tahunan Sekolah. Dan desain-desain lainnya. Cuma, gue ga pede karena di dunia ini graphic designer itu jago-jago banget. Selama kuliah dan kerja di kantor kemarin, gue hampir selalu nolak kerjaan desain grafis. Gue merasa ini ranah orang-orang yang jago sekali itu.
Tapi lalu visi hidup gue yang hidup untuk mencari pengalaman dan cerita hidup-pun berkata lain. Perut saya pun berkata lain.
'Lumayan, Ya.. Belajar desain grafis sambil dibayar. Keterima syukur, engga-pun, yang penting coba daftar. Siapa tau jodoh.' Kata malaikat di sebelah gue.
Gue langsung ambil hp gue, dan ngechat Kirtti dengan yakin saat itu.
"Gue pikirin dulu boleh ngga, Kir?"
Ternyata gue belum yakin.
"Boleh, Arya.. Paling sampe Senin boleh ngga?", tanya dia hari Sabtu itu.
Jadi, gue ditawarin di sebuah perusahaan promotor. Ngerjain desain dan semua yang dibutuhkan untuk publikasi dan produksi event-event mereka. Lumayan sih, kebetulan gue juga tau promotor ini karena dia yang pegang konser salah satu musisi TERFAVORIT gue kemarin.
Sabtu itu, gue menghabiskan waktu untuk ngechat 3 temen-temen gue. Nanya 'Menurut lu, gue bisa ngga sih kira-kira di kerjaan kayak gini?', both diliat dari sisi desain, sisi event, dan sisi kantor. Apakah gue akan betah kerja kantoran? Desain? Event?
Dari event jelas gue akan betah. Karena emang selama kuliah, hidup gue lebih banyak di kepanitiaan daripada di kelas. Kantoran? Bisa diatasi kalo temen-temennya menyenangkan dan lingkungannya supportive. Dan bisa jadi cerita kalo nanti gue akan nerusin kehidupan gue di perfilman. Dari Desain? OH MEN. berat sekali. Sebenernya, jujur. Lumayan tertarik untuk belajar desain. Kalo orang-orang ga judging desain gue. Gue ngga banyak pegang desain lagi adalah karena selama ini gue sendiri seringkali kurang puas dengan hasil desain gue.
..
Singkat cerita, masuk lah gue ke kantor ini. Promotor ini. Gue jadi desainer grafis, gais! Gue pamer ke semua orang kalo gue masuk sebagai desainer grafis. Gue mulai masuk ke kantor yang masuk setiap weekdays jam 12 siang dan hampir selalu pulang pas kereta terakhir itu (sekitar 11:30 malam). Tapi sejauh ini, kebetulan kemarin gue masuk emang pas hectic akan ada event 2 minggu lagi. Jadi gue dalam sebulan kurang ini sudah melalui satu event. Udah merasakan nginep dibayarin kantor, merasakan event sama kantor ini, dan so far lumayan positif dan menyenangkan kantornya. Bahkan gue pernah nginep di kantor karena kerjaan desain masih super numpuk untuk produksi menuju event, mengalami beberapa kali ketinggalan kereta, dan hal spontan lainnya.
Tempat ini lumayan bisa dipertimbangkan untuk gue bertahan sih.
=====
Oke. Karena ini adalah bagian akhir post, gue akan kembali membandingkan yang sudah gue alami soal freelance vs kerja kantoran.
Yang paling menjadi pertimbangan orang ngantor atau tidak adalah yang pasti dari siklus keuangannya. Sangat ngga bisa di-amini emang kalo kantoran itu lebih sejahtera dibandingkan freelance. Nyari klien pun., Puji Tuhan selama ini gue juga dateng-dateng aja. Asalkan hasil kerjaan lu .. minimal .. aman.
Siklus keuangan ini bisa dilihat yang pasti dari gajian perbulan dan perprojectnya. Merembet ke administrasi keuangan pribadi. Yang tadinya lu bisa matokin 'uang awal bulan' dan 'uang akhir bulan', yang - percayalah - sangat memudahkan., Jadi 'uang' aja. Jadi ngga semudah itu untuk membagi uang kebutuhan primer dan let's say hedon. Lumayan susah untuk membuat laporan keuangan untuk akhirat nanti (?). Sesimple: setiap bulannya duit lu keluar berapa persen buat apa?
Kerja freelance yang gue alami kemarin., emang penghasilan sangat cukup, bahkan bisa dibilang untuk waktu kerja gue yang jauh . jauh. jauh lebih sedikit dari gue kantoran, penghasilan gue bisa seimbang., bahkan lebih dari kantoran. Tapi untuk gue yang ga bisa kerja (atau ga betahan) di rumah, pengeluaran gue pun sangat bengkak pas gue freelance kemarin. Bosen dikit, ngopi. Bosen dikit, makan. Bosen dikit, nonton bioskop, nonton konser. Beda banget sama kantoran yang (plus minusnya) waktu lu habis di kantor. Minusnya ya. Hidup lu di ruangan itu aja. Plusnya ada di pengeluaran sih. Ketika lu dijadwalkan untuk makan ya makan siang dan makan malem, di tempat yang deket sama kantor seperti: warteg, nasi uduk, dan.. eh ga ada dan-nya.
Dan lu udah (plus minusnya) ngga ada waktu untuk nongkrong malem-malem, kemanapun. Menyenangkannya adalah gue punya temen kantor yang enak diajak ngobrol sampe malem juga di kantor. Jadi pulang kantor malem-pun bukan berarti lu ngga punya temen, atau pikiran lu ngga berkembang.
Basic mindset tentang keuangan gue waktu gue ngantor dan freelance kurang lebih gini:
Kalo kantor, lu terima uang setiap bulannya, lu tau lu bisa 'menghabiskan' uang lu untuk apa aja dan tau bulan depan lu akan bisa melakukan hal ini lagi, atau mengatur strategi kedepannya secara "lebih rapih" dan "lebih terstruktur" (balik lagi ke orangnya).
Kalo freelance, lu terima uang setiap projectnya dengan pikiran "ini uang untuk sampe kapan ya?". Jadi.. kebetulan gue aja kali ya., cenderung takut untuk mengeluarkan uang. Cenderung disertai perasaan guilty-pleasure waktu ngeluarin uang untuk apapun.
Dan fun factnya, gue sebenernya jarang menggunakan kata 'hedon' untuk urusan seperti ini. Gue lebih suka menyebutnya 'self-love'.
LOL.
bye.
No comments:
Post a Comment